Top News Today

Laman

Powered By Blogger

Thomas Alpha Edison

Thomas Alpha Edison

Hot News

Popular News [ View all Popular News ]

Latest Updates

Selasa, Februari 16, 2010

Tegangan Generator Sinkron

0 Tanggapan
Pengaturan tegangan adalah perubahan tegangan terminal antara keadaan beban nol dengan beban penuh, dan ini dinyatakan dengan persamaan :



Terjadinya perbedaan tegangan terminal V dalam keadaan berbeban dengan tegangan Eo pada saat tidak berbeban dipengaruhi oleh faktor daya dan besarnya arus jangkar (Ia) yang mengalir.

Untuk menentukan pengaturan tegangan dari generator adalah dengan memanfaatkan karakteristik tanpa beban dan hubung singkat yang diperoleh dari hasil percobaan dan pengukuran tahanan jangkar. Ada tiga metoda atau cara yang sering digunakan untuk menentukan pengaturan tegangan tersebut, yaitu :
• Metoda Impedansi Sinkron atau Metoda GGL.
• Metoda Amper Lilit atau Metoda GGM.
• Metoda Faktor Daya Nol atau Metoda Potier.

Metoda Impedansi Sinkron

Untuk menentukan pangaturan tegangan dengan menggunakan Metoda Impedansi Sinkron, langkah-langkahnya sebagai berikut :
• Tentukan nilai impedansi Sinkron dari karakteristik tanpa beban dan karakteristik hubung singkat.
• Tentukan nilai Ra berdasarkan hasil pengukuran dan perhitungan.
• Berdasarkan persamaan hitung nilai Xs.
• Hitung harga tegangan tanpa beban Eo.
• Hitung persentase pengaturan tegangan.


Gambar 1. Vektor Diagram Pf “Lagging”

Gambar 1 memperlihatkan contoh Vektor diagram untuk beban dengan faktor daya lagging.

Eo =OC = Tegangan tanpa beban
V =OA = Tegangan terminal
I.Ra=AB=Tegangan jatuh Resistansi Jang-kar
I.Xs = BC= Tegangan jatuh Reaktansi Sinkron.



Pengaturan yang diperoleh dengan metoda ini biasanya lebih besar dari nilai sebenarnya.

Metoda Amper Lilit

Perhitungan dengan Metoda Amper Lilit berdasarkan data yang diperoleh dari percobaan tanpa beban dan hubung singkat. Dengan metoda ini reaktansi bocor XL diabaikan dan reaksi jangkar diperhitungkan.

Adapun langkah-langkah menentukan nilai arus medan yang diperlukan untuk memperoleh tegangan terminal generator saat diberi beban penuh, adalah sebagai berikut :
• Tentukan nilai arus medan (Vektor OA) dari percobaan beban nol yang diperlukan untuk mendapatkan tegangan nominal generator.
• Tentukan nilai arus medan (Vektor AB) dari percobaan hubung singkat yang diperlukan untuk mendapatkan arus beban penuh generator.
• Gambarkan diagram vektornya dengan memperhatikan faktor dayanya:
• untuk faktor daya “Lagging” dengan sudut (90° + ϕ)
• untuk faktor daya “Leading” dengan sudut (90° - ϕ)
• untuk faktor daya “Unity” dengan sudut (90°). perhatikan gambar 2a,b,c.
• Hitung nilai arus medan total yang ditunjukkan oleh vektor OB.


Gambar 2. Vektor Arus Medan

Gambar 3 akan memperlihatkan diagram secara lengkap dengan karakteristik beban nol dan hubung singkat.

OA = Arus medan yang diperlukan untuk mendapatkan tegangan nominal.

OC = Arus medan yang diperlukan untuk mendapatkan arus beban penuh pada hubung-singkat.

AB = OC = dengan sudut (90° + ϕ) terhadap OA.

OB = Total arus medan yang dibutuhkan untuk mendapatkan tegangan Eo dari karakteristik beban nol.




Gambar 3. Karakteristik Beban Nol, Hubung Singkat, dan Vektor Arus Medan.

Metoda Potier

Metoda ini berdasarkan pada pemisahan kerugian akibat reaktansi bocor XL dan pengaruh reaksi jangkar Xa. Data yang diperlukan adalah :
• Karakteristik Tanpa beban.
• Karakteristik Beban penuh dengan faktor daya nol.

Khusus untuk karakteristik beban penuh dengan faktor daya nol dapat diperoleh dengan cara melakukan percobaan terhadap generator seperti halnya pada saat percobaan tanpa beban, yaitu menaikkan arus medan secara bertahap, yang membedakannya supaya menghasilkan faktor daya nol, maka generator harus diberi beban reaktor murni. Arus jangkar dan faktor daya nol saat dibebani harus dijaga konstan.

Langkah-langkah untuk menggambar Diagram Potier sebagai berikut :
1. Pada kecepatan Sinkron dengan beban reaktor, atur arus medan sampai tegangan nominal dan beban reaktor (arus beban) sampai arus nominal.
2. Gambarkan garis sejajar melalui kurva beban nol. Buat titik A yang menunjuk-kan nilai arus medan pada percobaan faktor daya nol pada saat tegangan nominal.
3. Buat titik B, berdasarkan percobaan hubung singkat dengan arus jangkar penuh. OB menunjukkan nilai arus medan saat percobaan tersebut.
4. Tarik garis AD yang sama dan sejajar garis OB.
5. Melalui titik D tarik garis sejajar kurva senjang udara sampai memotong kurva beban nol dititik J. Segitiga ADJ disebut segitiga Potier.
6. Gambar garis JF tegak lurus AD. Panjang JF menunjukkan kerugian tegangan akibat reaktansi bocor.
7. AF menunjukkan besarnya arus medan yang dibutuhkan untuk mengatasi efek magnetisasi akibat raeksi jangkar saat beban penuh.
8. DF untuk penyeimbang reaktansi bocor jangkar (JF).


Gambar 4. Diagram Potier.

Dari gambar Diagram Potier diatas, bisa dilihat bahwa :
• V nilai tegangan terminal saat beban penuh.
• V ditambah JF (I.Xl) menghasilkan tegangan E.
• BH = AF = arus medan yang dibutuhkan untuk mengatasi reaksi jangkar.
• Bila vektor BH ditambah kan ke OG, maka besarnya arus medan yang dibutuhkan untuk tegangan tanpa beban Eo bisa diketahui.

Vektor diagram yang terlihat pada diagram Potier bisa digambarkan secara terpisah seperti terlihat pada Gambar 5.




Gambar 5. Vektor Diagram Potier

Senin, Februari 15, 2010

0 Tanggapan

Salah satu formula yang dipakai selama bertahun-tahun, tepatnya adalah rumus daya kompleks (apparent power). Dimana kita menemukan daya kompleks? Kalau bicara definisi, tentu tanyakan saja pada Wikipedia. Tapi dalam real life, daya kompleks bisa ditemukan pada besarnya daya listrik yang dilanggan konsumen ke PLN, misal 900 VA, 1300 VA, 2200 VA dst. Jadi harus dimengerti, kita tidak berlangganan dalam Watt tapi VA. Rumusnya sendiri sederhana,

S = VI*

dimana S adalah daya kompleks dalam satuan VA (volt ampere), V adalah tegangan dalam V (volt) dan I adalah arus dalam A(ampere). Hubungan antara S (daya kompleks), P(daya nyata) dan Q(daya reaktif) sering digambarkan dalam segitiga phytagoras ini.

Power Triangle SPQSPQ

Rumus ini sebenarnya adalah generalisasi dari rumus daya nyata listrik (real power), P = V.I, yang telah kita kenal sejak SMP. Bedanya adalah ketika SMP kita menghitungnya sebagai besaran skalar, besaran yang hanya mempunyai “besar” (magnitude), sedangkan V dan I pada S = VI* merupakan besaran vektor, besaran yang mempunyai magnitude dan arah, walaupun ketika V dan I arahnya 0 derajat maka nilainya sama dengan jika kita menganggap V dan I sebagai besaran skalar. Untuk membedakannya, ilmuwan biasanya menuliskan besaran skalar dengan tanda || di antara besaran tersebut, misal ||V|| berarti “besar” V, sedangkan jika ingin menulis besaran vektor maka V tadi akan ditulis dengan huruf italic atau cetak miring, V, atau dengan ditambahi garis di atas atau di bawahnya. Namun by default atau dengan sendirinya, dalam konteks perhitungan phasor, biasanya semua nilai V dan I akan dianggap sebagai besaran vektor.

Nah, yang menjadi pertanyaan adalah kenapa harus ada tanda conjugate (tanda bintang * di sisi kanan atas I) dalam rumus ini. Bertahun-tahun rumus ini saya gunakan sebagai sesuatu yang “given”, walaupun saya tahu ada pembuktian identitas matematisnya. Dan bagi yang tahu pembuktian matematis seperti apa, akan mafhum. Pelajar yang pas-pasan seperti saya, langsung akan merasa berkunang-kunang matanya melihat deretan angka, huruf, simbol-simbol matematis yang mempunyai arti sendiri-sendiri dan saling berhubungan.

Conjugate sendiri berarti adalah perintah untuk merubah tanda minus menjadi plus atau sebaliknya, plus menjadi minus pada elemen imajiner dalam bilangan kompleks.

Misalkan saya mempunyai bilangan kompleks I = 3 – j4, maka complex conjugate dari I adalah I* = 3 + j4, atau jika dalam bentuk polar jika lima min maka lima plus . Sedangkan j atau kadang ditulis sebagai i adalah simbol bilangan imajiner yang nilainya j = i = √-1.

Konsep lain yang perlu diketahui sebelum menjawab pertanyaan ini adalah tentang faktor daya (power factor atau pf) yang nilainya adalah cosinus beda sudut antara phasor V dan I.

Misalkan kita ingin mengalikan V sudut θ1 dengan I sudut θ2 untuk mendapatkan nilai daya kompleks maka hasilnya adalah wrong VI, dan hal ini tentunya bertentangan dengan konsep faktor daya yang menyebutkan dalam cos θ adalah beda sudut antara V dan I.

Jadi, seseorang (saya belum baca sejarahnya) yang jenius di bidang ini, menambahkan tanda conjugate pada nilai I. Apa guna conjugate ini? Tentu saja agar didapatkan nilai S yang konsisten, sesuai dengan konsep faktor daya tadi.

Mari kita tulis ulang lagi persamaannya,

SEquation

sehingga sesuai dengan pengertian daya kompleks adalah hasil perkalian dari tegangan dan arus dengan sudut sebesar selisih beda phasa diantara tegangan dan arus itu. By the way, konsep ini, yang kelihatannya seperti konsep electrical engineering for idiot, adalah jawaban dari seorang guru besar a.k.a. professor ketika menjawab pertanyaan mahasiswanya, yang lumayan geblek juga hehe..

Contoh Penyelesaian Aliran Daya Listrik dengan Metode Newton-Raphson, Decoupled dan Fast Decoupled Load Flow

0 Tanggapan

Studi aliran daya adalah salah satu topik yang dibahas dalam mata kuliah Analisis Sistem Tenaga Listrik (Power System Analysis) yang merupakan mata kuliah wajib jurusan teknik tenaga listrik di hampir semua universitas di seluruh dunia. Teori2 yang ada di dalamnya akan cukup membuat pusing, namun salah satu cara untuk membantu memahaminya adalah dengan memecahkan suatu persoalan.

3 Bus

Gambar di atas adalah one line diagram sistem tenaga listrik sederhana 3 bus, dengan generator di bus 1 dan 2. Tegangan di bus 1 adalah 1 + j0 per unit. Besar tegangan di bus 2 tetap, sebesar 1.03 pu dengan daya nyata generator sebesar 400 MW. Beban sebesar 500 MW dan 350 MVAR ada di bus 3. Admitansi saluran pada gambar dalam besaran per unit dan berbasis 100 MVA. Resistansi saluran dan suseptansi line charging diabaikan.

  1. Cari solusi aliran daya dengan menggunakan metode Newton-Raphson, tentukan besar phasor V2 dan V3. Lakukan 2 iterasi.
  2. Ulangi no 1 dengan algoritma Decoupled.
  3. Ulangi no 1 dengan algoritma Fast Decoupled.

Jawaban:

Klik untuk memperbesar gambar2 ini.

1. Untuk Newton-Raphson, langkah2nya sbb:

  • Langkah pertama adalah merubah semua nilai ke dalam besaran per unit (pu).
  • Kemudian menyusun Y matriks.
  • Identifikasi nilai2 yang diketahui dan yang tidak diketahui.
  • Perhatikan jenis bus, apakah slack bus/reference bus, load / PQ bus atau voltage controlled / PV bus.
  • Jika tegangan di suatu bus tidak diketahui, asumsikan tegangannya 1 + j0 pu. Asumsi ini sering disebut sebagai flat start. Hal ini disebabkan, biasanya besar tegangan suatu bus tidak akan jauh dari 1 pu.

  • (♣) Substitusi nilai2 yang diketahui untuk mendapatkan persamaan2 P dan Q yang diketahui.
  • Hitung turunan parsial dalam Jacobian matrix yang akan kita susun.
  • Hitung daya residu ΔP dan ΔQ.
  • Setelah semuanya dihitung, kita siap mencari penyelesaian dari iterasi pertama, yaitu dengan menyelesaikan persamaan linier di atas. Disini terlihat persamaan tsb. mengandung matriks Jacobian 3 x 3, sehingga jika matriks tsb berpindah ruas, maka tentu saja kita harus mencari invers dari matriks tsb.
  • Dengan mendapatkan solusi dari persamaan ini, maka didapatkan lah besar dan sudut fasa baru tegangan pada bus-bus untuk iterasi yang pertama.

  • Langkah berikutnya adalah mengulang langkah2 di atas, mulai dari (♣) sampai sebanyak iterasi yang diinginkan.

2. Untuk metode Decoupled Load Flow, langkah2nya sama, kecuali J2 dan J3 dalam matriks Jacobian tidak dihitung, atau dianggap 0.

3. Untuk Fast Decoupled Load Flow,

  • Tidak memerlukan inversi matriks Jacobian. Sebagai gantinya, dari matriks admitansi Y, dibentuk matriks B’ dan B”.

  • Persamaannya sendiri,

\Delta \delta = -[B']^{-1}\frac{\Delta P}{|V|}

\Delta |V| = -[B'']^{-1}\frac{\Delta Q}{|V|}

  • Langkah2 selanjutnya sama dengan metode NR/Decoupled.

Untuk mencari besar daya di slack bus, nilai2 yang diperoleh dari masing2 algoritma, disubstitusi kembali ke persamaan daya. Sedangkan rugi2 sistem (losses), dapat dengan mudah dicari dengan prinsip hukum kekekalan energi, yaitu daya yang masuk ke suatu saluran sama dengan daya yang keluar ditambah rugi2.

Jika anda jeli, maka hasil perhitungan dengan kalkulator tangan di atas, ada yang bisa dikritisi, seperti losses yang negatif. Hal ini akibat adanya pembulatan nilai pada setiap langkah perhitungan, misal hasil yang sebenarnya 0.9333…dst tapi dibulatkan jadi 0.933. Dengan software2 komersial, komputer dengan mudah akan memberikan solusi yang lebih akurat.

Jika anda sudah cukup terlatih dengan pemecahan soal2 semacam ini, maka anda dengan mudah akan memahami cara kerja software2 komersial yang biasa digunakan dalam suatu sistem tenaga listrik.

Teori Probabilitas Dasar

0 Tanggapan

Teori Probabilitas Dasar

Saya merekomendasikan untuk membaca terlebih dahulu buku Statistik dari Schaum’s Outlines bab 6 agar anda lebih mudah mengikuti pemaparan tentang kapasitas pembangkitan dengan pendekatan probabilistik. Ada yang mengatakan Probabilitas adalah peluang kemunculan suatu kejadian. Sebagian besar Probabilitas suatu kejadian akan bernilai di antara 0 (gagal / failure (f)) dan 1 (berhasil / success (s)) kecuali untuk kasus-kasus yang ekstrim.

Jika p = probabilitas keberhasilan, q = probabilitas kegagalan, s = jumlah keberhasilan, dan f = jumlah kegagalan, maka

p=\frac{s}{s + f}

q=\frac{f}{s + f}

dimana p + q = 1.

Selain itu kita perlu mengingat kembali konsep Kombinasi dan Permutasi. Kenapa? Agar kita dapat menganalisis dengan lebih efisien dibanding jika kita harus menuliskan satu-persatu kemungkinan kejadian-kejadian dalam analisis kita. Kombinasi berhubungan dengan banyaknya cara sebuah item dapat divariasikan/diatur namun tidak melihat urutan pengaturan tsb. Pada Permutasi, urutan pengaturan tsb. dilihat. Pada STL, kita akan lebih banyak membicarakan kombinasi. Kita lebih memperhatikan event-event mana, jika dikombinasikan, yang akan menyebabkan STL gagal, ketimbang urut-urutan event-eventnya (permutasi) yang menyebabkan sistem gagal.

Praktek Probabilitas dalam Enjiniring

Mungkin kita sering membaca tentang cara menghitung probabilitas sisi mana yang muncul pada sebuah koin. Semakin sering percobaannya maka, angka probabilitasnya semakin akurat. Dalam kenyataannya, deduksi data probabilitas kesuksesan atau kegagalan sebuah STL tidak dapat diperoleh melalui percobaan seperti koin tsb. Lantas apa yang dapat dilakukan ? Caranya dapat dengan membagi STL ke dalam beberapa level hirarki. Hirarki yang paling rendah dipilih (pembangkitan) yang data probabilitasnya relatif lebih mudah diperoleh. Data kegagalan untuk sistem secara keseluruhan diperoleh dari teknik reliability assesment.

Aplikasi Distribusi Binomial

Distribusi Probabilitas

Bilangan random mengikuti salah satu dari distribusi

Perilaku acak dari sebuah sistem diwakili oleh satu atau lebih parameter disamping distribusinya, seperti:

  • Rata-rata atau nilai yang diharapkan <– Momen pertama distribusi
  • Varian dan deviasi standar <– Momen kedua distribusi

Distribusi binomial masuk dalam kategori variabel random diskrit. Dengan penerapan distribusi binomial, solusi dari permasalahan reliability yang rumit menjadi lebih mudah. Jika kita menghubungkan probabilitas keberhasilan p dan kegagalan q dengan konsep binomial maka untuk sebuah n kali (jumlah n tetap) percobaan,

distribusi binomialnya = (p + q)^{n}.

Kondisi lain yang harus dipenuhi :

  • p + q = 1 (cuma boleh ada 2 kemungkinan keluaran, berhasil dan gagal / hidup dan mati dsb)
  • nilai p dan q, masing-masing konstan
  • percobaan harus independen

Agar kita dapat mengevaluasi hasil-hasil keluaran dan probabilitasnya, kita perlu menurunkan (p + q)^{n} menjadi :



Contoh 1 (p = q = 0.5)

Sebuah koin dilempar 5 kali. Evaluasi probabilitas masing-masing keluaran yang mungkin.

Jumlah Sisi

Formula Binomial

Probabilitas Individu Probabilitas Kumulatif
Angka Burung
0 5 5C0(½)0(½)5 1/32 1/32
1 4 5C1(½)1(½)4 5/32 6/32
2 3 5C2(½)2(½)3 10/32 16/32
3 2 5C3(½)3(½)2 10/32 26/32
4 1 5C4(½)4(½)1 5/32 31/32
5 0 5C5(½)5(½)0 1/32 32/32

Σ = 1

Contoh cara menghitung kombinasi 5C3

= \frac{5!}{3!(5-3)!} = \frac{5 \times 4 \times 3 \times 2 \times 1}{3 \times 2 \times 1 (2 \times 1)} = \frac{5 \times 4}{2} = 10

Contoh 2 (p ≠ q)

Sebuah pembangkit listrik berskala kecil akan dibangun untuk memenuhi kebutuhan beban 10 MW konstan. Designer sistem ini mempertimbangkan 4 kemungkinan konfigurasi unit-unit (mesin) di dalam pembangkit tersebut. Asumsi untuk unit-unit dalam pembangkit tsb. Forced Outage Rate (FOR) = 0.02.

  1. 1 unit x 10 MW
  2. 2 unit x 10 MW
  3. 3 unit x 5 MW
  4. 4 unit x 3\frac{1}{3} MW

Jawaban Contoh 2

Dalam lingkup sederhana, kita mengaplikasikan distribusi binomial pada dua keadaan pembangkit, yaitu :

  1. Pembangkit tidak siap (outage), misal dilambangkan dengan p = FOR = 0.02
  2. Pembangkit siap (available), misal dilambangkan dengan q = 1 - FOR = 0.98

Dalam praktek, dengan perhitungan yang lebih teliti, biasanya dinyatakan dalam EAF (Equivalent Availability Factor) dan EFOR (Equivalent Forced Outage Rate).

Pada rumus binomial :

(p + q)^{n}= \sum_{r=0}^{n} {}_{n}C_{r}p^{r}q^{n-r}

  • nilai p = 0.02, q = 0.98,
  • r = 0, 1, … sampai dengan n,
  • n = 1 (kasus 1), n = 2 (kasus 2), n = 3 (kasus 3), n = 4 (kasus 4).

Misal untuk yang (b) / kasus 2,

(p + q)^{n}=\sum_{r=0}^{2}{}_{2}C_{r}(0.02)^{r}(0.98)^{(2-r)}

={}_{2}C_{0}(0.02)^{0}(0.98)^{(2-0)}+{}_{2}C_{1}(0.02)^{1}(0.98)^{(2-1)}+{}_{2}C_{2}(0.02)^{2}(0.98)^{(2-2)}

={}_{2}C_{0}(0.98)^{2}+{}_{2}C_{1}(0.02)(0.98)+{}_{2}C_{2}(0.02)^{2}

=0.9604+0.0392+0.0004

Jika kita masukkan satu persatu nilai2 tsb., maka hasilnya dapat ditabulasikan dalam tabel COP (capacity outage probability) sbb. :

Capacity Outage Probability Tables
Units out Capacity, MW Individual probability
Out Available
—– ——————– ————– ————– ————– ——————
(a) 1 x 10 MW unit
0 0 10 0.98
1 10 0 0.02
1.00
(b) 2 x 10 MW units
0 0 20 0.9604
1 10 10 0.0392
2 20 0 0.0004
1.0000
(c) 3 x 5 MW units
0 0 15 0.941192
1 5 10 0.057624
2 10 5 0.001176
3 15 0 0.000008
1.000000
(d) 4 x 3\frac{1}{3} MW units
0 0 13\frac{1}{3} 0.92236816
1 3\frac{1}{3} 10 0.07529536
2 6\frac{2}{3} 6\frac{2}{3} 0.00230496
3 10 3\frac{1}{3} 0.00003136
4 13\frac{1}{3} 0 0.00000016
1.00000000

Bagaimana dengan interpretasi tabel COP ini ?

Pemilik (owner) sistem berbeban 10 MW ini tentu mengharapkan, pembangkit listrik yang dibangun dapat memenuhi kebutuhannya minimal 10 MW dengan keandalan setinggi mungkin. Dengan data probabilitas ini, si desainer sistem memberitahu si owner bahwa alternatif-alternatif tsb. akan mampu mensuplai minimal 10 MW (x ≥ 10 MW) dengan probabilitas :

  1. Alternatif (a) = 0.98
  2. Alternatif (b) = 0.960 + 0.039 = 0.999
  3. Alternatif (c) = 0.941 + 0.057 = 0.998
  4. Alternatif (d) = 0.922 + 0.075 = 0.997

Si owner tentu saja langsung memilih alternatif (b) yang tingkat keandalannya paling tinggi. Namun demikian, paparan dari si desainer belum selesai, investasi awal untuk membangun pembangkit ini disebutkan US$ 1 juta / MW, sehingga acquisition costs yang harus dikeluarkan untuk alternatif :

  1. (a) = US$ 10 juta
  2. (b) = US$ 20 juta
  3. (c) = US$ 15 juta
  4. (d) = US$ 13\frac{1}{3} juta

Si owner kemudian pikir-pikir dan membatalkan keputusannya memilih alternatif (b) dan memilih alternatif (d). Keputusan akhir ini tidak selalu fix, bisa berubah-ubah bergantung pada optimalisasi tujuan (objective) si owner sebagai fungsi dari keandalan dan biaya dengan batasan (constraint) yang mungkin tidak sepenuhnya diketahui si desainer. Disini lah maksud dari trade-off antara reliability vs cost, yang jika diungkapkan secara matematis sebagai optimisasi : optimization, or mathematical programming, refers to choosing the best element from some set of available alternatives.

Dari tabel diatas juga dapat diinterpretasikan berapa MW yang kemungkinan hilang ketika melayani beban 10 MW (expected load loss).

Kapasitas Unit yang Keluar (MW) Probabilitas Kehilangan Beban untuk Melayani 10 MW (MW) Expected Load Loss (MW)
(a) 1 x 10 MW unit
0 0.98 0 -
10 0.02 10 0.2
0.2
(b) 2 x 10 MW units
0 0.9604 0 -
10 0.0392 0 -
20 0.0004 10 0.004
0.004 MW
(c) 3 x 5 MW units
0 0.941192 0 -
5 0.057624 0 -
10 0.001176 5 0.00588
15 0.000008 10 0.00008
0.00596 MW
(d) 4 x 3\frac{1}{3} MW units
0 0.92236816 0 -
3\frac{1}{3} 0.07529536 0 -
6\frac{2}{3} 0.00230496 3\frac{1}{3} 0.00768320
10 0.00003136 6\frac{2}{3} 0.00020907
13\frac{1}{3} 0.00000016 10 0.00000160
0.00789387 MW

Misal untuk kasus yang (c) :

  • Ketika unit 0 MW keluar, tidak ada (0 MW) kehilangan beban.
  • Ketika unit 5 MW keluar, beban 10 MW tetap terlayani (tidak ada kehilangan beban).
  • Ketika 2 unit, total 10 MW keluar, ada 5 MW yang tidak terlayani dari 10 MW yang dibutuhkan.
  • Ketika semua unit, total 15 MW keluar, semua (10 MW) beban tidak terlayani.
Kesimpulannya, jika ada 3 unit x 5 MW dengan FOR = 0.02 melayani beban 10 MW, maka dari 10 MW tersebut, 0.00596 MW beban akan tidak terlayani

Blog Archive